KAMELA-Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit pelayanan kesehatan dengan tingkat urgensi tertinggi, di mana setiap detik dapat menentukan keselamatan nyawa. Namun, di balik kecepatan tindakan medis dan ketepatan prosedur klinis, terdapat persoalan yang kerap luput dari perhatian, yakni rapuhnya komunikasi antara perawat dan keluarga pasien dalam situasi krisis.
Keluarga pasien umumnya datang ke IGD dengan kondisi emosional yang tidak stabil—panik, cemas, dan penuh ketidakpastian. Di sisi lain, perawat dituntut bekerja cepat, fokus, dan presisi. Pertemuan antara emosi yang memuncak dan prosedur medis yang ketat inilah yang kerap memicu ketegangan, bahkan konflik, di ruang IGD.
Tulisan ini berangkat dari wawancara dengan Sri Widiyastuti, A.Md.Kep, perawat dengan pengalaman lebih dari 25 tahun di berbagai unit pelayanan, termasuk IGD. Menurutnya, kepanikan keluarga pasien merupakan tantangan terbesar dalam komunikasi. Banyak keluarga menuntut penanganan dan penjelasan secara instan, sementara kondisi IGD sering kali padat dan berada di bawah tekanan tinggi. Rasa cemas tersebut wajar, namun tanpa pengelolaan komunikasi yang baik, emosi mudah berubah menjadi kemarahan yang diarahkan kepada tenaga kesehatan.
Masalah yang sering muncul adalah ketidakmampuan keluarga mengendalikan emosi saat menghadapi kondisi kritis orang terdekat. Mereka membanjiri perawat dengan pertanyaan, sulit memahami istilah medis, dan tidak jarang bersikap keras ketika tindakan sedang dilakukan. Situasi ini dapat mengganggu konsentrasi perawat sekaligus membuka ruang terjadinya miskomunikasi. Dalam konteks IGD, satu kata yang disalahartikan atau nada suara yang dianggap kurang empatik dapat memicu konflik.
Sri Widiyastuti menegaskan bahwa tantangan utama perawat bukan hanya melakukan tindakan medis, melainkan menjelaskan kondisi pasien di tengah emosi keluarga yang memuncak. Keluarga yang sulit menerima penjelasan namun terus menuntut jawaban dengan nada tinggi menuntut kesabaran dan ketahanan emosional ekstra dari perawat.
Fenomena ini dapat dipahami melalui teori komunikasi terapeutik dalam keperawatan yang menekankan empati, kejelasan, dan struktur pesan. Namun, keterbatasan waktu dan tingginya beban kerja di IGD sering membuat standar komunikasi ideal sulit diterapkan. Teori stres dan koping Lazarus dan Folkman juga menjelaskan bahwa kepanikan keluarga merupakan respons stres akut terhadap ancaman kehilangan orang terdekat, yang diperparah oleh rendahnya literasi kesehatan terkait sistem triase dan alur pelayanan IGD.
Dari perspektif pekerjaan sosial, persoalan komunikasi di IGD bukan semata isu klinis, melainkan persoalan sosial dan kemanusiaan. Keluarga pasien membutuhkan pendampingan psikososial agar mampu menerima informasi secara lebih rasional dan kooperatif. Tanpa pendampingan, tekanan emosional berpotensi berkembang menjadi konflik antara masyarakat dan institusi kesehatan.
Hambatan komunikasi ini berdampak luas, mulai dari meningkatnya stres kerja perawat, menurunnya kepercayaan keluarga terhadap tenaga medis, hingga tingginya potensi konflik di fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan harus bersifat komprehensif. Pelatihan komunikasi krisis bagi perawat perlu diperkuat, disertai penetapan satu perwakilan keluarga sebagai penerima informasi agar tidak terjadi simpang siur.
Langkah sederhana seperti penyediaan informasi alur pelayanan IGD dan penjelasan sistem triase di ruang tunggu juga dapat membantu menurunkan kecemasan keluarga. Selain itu, edukasi publik melalui media massa dan media sosial rumah sakit perlu digencarkan agar masyarakat memahami dinamika kerja di IGD secara lebih proporsional.
Kolaborasi antara perawat dan pekerja sosial medis menjadi kebutuhan mendesak. Pekerja sosial dapat berperan sebagai mediator komunikasi, pendamping keluarga, sekaligus pemberi dukungan psikososial ketika perawat harus fokus pada tindakan klinis.
Pada akhirnya, komunikasi efektif di IGD bukan sekadar penyampaian informasi medis, melainkan cerminan nilai kemanusiaan dalam pelayanan darurat. Pendekatan interdisipliner antara keperawatan dan pekerjaan sosial menjadi kunci untuk meminimalkan konflik dan membangun kembali kepercayaan publik. Tanpa komunikasi yang manusiawi, prosedur medis secanggih apa pun akan sulit menghadirkan rasa aman bagi pasien dan keluarganya.
Oleh:
Eka Octarina Ramadhani, Firman Sekozean Sihombing, Herda Trianaputri,
Fawwaz Fattah Khair, Septriana Hutasoit
Dosen Pengampu:
Fajar Utama Ritonga, S.Sos., M.Kesos
