![]() |
| Ketua Umum FDM Memantau Langsung di Tempat Yanh terdampak Bencana Dok/Akbar |
KAMELA-Aceh sedang menjalani tiga fase bencana yang mengguncang: Evakuasi, Bertahan Hidup, dan Renovasi. Namun di setiap fase, satu pola terus berulang rakyat bergerak, negara terlambat.
Pada fase evakuasi, derasnya arus air merenggut nyawa, sementara bantuan datang terlambat. Ini bukan sekadar kekurangan koordinasi, tetapi kegagalan kepemimpinan. Ketika kebijakan tak bekerja dan keputusan macet di meja birokrasi, rakyat dipaksa bertahan dengan doa dan tawakal. Tragisnya, kekecewaan ini kini tercatat sebagai bagian dari sejarah Aceh.
Kini Aceh memasuki fase bertahan hidup, fase paling rentan setelah nyawa diselamatkan. Komunikasi terputus, logistik seret, dan warga yang sudah dievakuasi harus menahan lapar dan dahaga. Pertanyaannya sederhana namun menyayat: kepada siapa kami harus mengadu?
Jika sampai warga meninggal karena kelaparan, itu bukan lagi tragedi, melainkan blunder kedua yang tak bisa dimaafkan.
Setelah situasi stabil, Aceh akan memasuki fase renovasi—fase yang dikenal sebagai surga bagi penyintas, tetapi sering berubah menjadi ladang emas bagi oknum. Rumah hilang, mata pencaharian lenyap, masa depan anak-anak terguncang. Namun di sisi lain, aparat nakal mulai menghitung peluang, mafia bantuan mulai menyelundupkan donasi, dan konglomerat tamak mulai menumpuk keuntungan dari derita rakyat.
Bencana alam berakhir, tetapi bencana moral justru mengintai.
Dalam tiga fase ini evakuasi yang terlambat, logistik yang tersendat, dan renovasi yang rawan diselewengkan Aceh kembali diuji, bukan hanya oleh alam, tetapi oleh seberapa serius negara hadir untuk warganya.
Jangan salah langkah. Jangan saling menyalahkan. Jangan saling menghancurkan.
Rakyat Aceh sudah terlalu lama menanggung akibat dari kegagalan sistemik. Yang dibutuhkan kini bukan pemantauan dari jauh, tetapi tindakan yang nyata, cepat, dan bersih.
